“Ada tujuh
milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh
cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya
5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap
jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan bumi
mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.”
Hanya
sepenggal tulisan ini dan komentar-komentar dari orang-orang yang tak satu pun
namanya kukenal ada di bagian belakang sampul. Tak memberi gambaran mengenai
kisah yang ada di dalamnya selain bahwa kisah ini adalah sebuah kisah cinta
sepasang anak manusia. Sebagai orang yang baru pertama kali akan membaca karya
Tere Liye, hal ini sangat tidak membantu untuk mempertimbangkan apa saya akan
membelinya atau tidak.
Kau, Aku, dan Sepucuk
Angpau Merah, itulah judul buku ini yang tertulis
indah di sampul depannya yang berwarna jingga. Terus terang warna sampulnya pun
saya tak yakin. Yang pasti, di sampul ini tergambar seorang wanita memakai
payung berdiri menyamping seakan memandang sungai. Mungkin dia berdiri di
dermaga karena di sekitarnya tertambat beberapa perahu (yang kemudian kuketahui
namanya sepit). Judul dan sampul buku
ini justru semakin menumbuhkan rasa penasaranku. Apa hubungan ‘Kau’ dan ‘Aku’
dg ‘Sepucuk Angpau Merah’? Kenapa sampulnya seperti itu? Apa sedikit-banyak
mewakili cerita yang tergambar di dalamnya? Dari pada semakin sibuk dengan
berjuta pertanyaan, akhirnya saya membeli buku ini. Jika tidak suka atau puas
membacanya toh nanti bisa saya jual jadi tak ada ruginya mencoba karya satu
ini.
Bila
memiliki buku baru, sebelum membacanya saya sangat suka melihat jumlah
halamannya dan sering tergoda membaca random. Tapi, kali ini kebiasaan aneh
yang agak jelek itu saya urungkan mengingat buku ini 507 halaman, terdiri dari
37 bab beserta prolog dan epilognya, bakal sangat membingungkan jika dibaca
random karena kemungkinan besar akan ada cerita yang terlewatkan. Apakah saat
telah membaca beberapa bab akhirnya saya menyerah dan memilih membaca random?
Tidak… Saya tetap membacanya dengan runut dan menikmati alur ceritanya.
Cerita
bermula saat Borno si tokoh utama berusia 6 tahun, masih polos dengan
pertanyaan dan pemikiran tipikal anak seumurannya. Ia ingin tahu berapa lama
waktu yang dibutuhkan kotoran manusia dari hulu sungai Kapuas untuk hanyut
sampai ke muara, melintasi rumah papan keluarganya. Kisah ini memang dibuat
berlatarkan kehidupan masyarakat Pontianak yang hidup dipinggiran Kapuas. Namun,
pada bagian prolog ini baru karakter beberapa tokohnya saja yang bisa kita
pahami,selain Borno kecil, seperti Koh Acong, Cik Tulani, Pak Tua, bapak dan
ibu Borno. Di bagian ini pula kejadian yang
mempengaruhi proses pendewasaan, kehidupan cinta, dan masa depan Borno
terjadi. Saat usianya 12 tahun, bapaknya meninggal karena sengatan ubur-ubur
dan memutuskan untuk mendonorkan jantungnya sebelum dia meninggal.
Buku
ini tidak hanya bercerita tentang kisah cinta
tapi juga menambah pengetahuan. Pada bab-bab awal justru bercerita
tentang sejarah asal-muasal nama kota Pontianak, kehidupan masyarakat di tepi
sungai Kapuas, pekerjaan mereka terutama para pengemudi sepit (ternyata berasal
dari kata speed), makna sepit Borno
pada bab ini sudah besar, sekitar 10
tahun setelah bapaknya meninggal, telah bermunculan beberapa tokoh baru baru
seperti Andi sahabatnya, bapak Andi yg keturunan Bugis, Bang Togar ketua
pengemudi sepit, serta beberapa pengemudi sepit lainnya. Borno yang telah tamat
SMA sebenarnya ingin kuliah tapi hidup berkata lain ia harus mencari kerja, di
PHK, bekerja kesana-kemari dengan dengan berbagai rintangan. Meski awalnya dia
tak ingin karena wasiat bapaknya namun toh akhirnya dia jadi pengemudi sepit. Ia
menganggap bahwa bapaknya tidak ingin dia jadi nelayan ataupun pengemudi sepit
namun Pak tua dengan bijak menjelaskan bahwa makna pernyataan bapaknya itu
adalah ingin dia menjadi lebih baik, bukan melarangnya sama sekali. Orang tua
selalu ingin anaknya lebih hebat dari dirinya tapi bukan berarti ia melarang
anaknya sama dengannya bila itu baik.
Hari
pertama Borno resmi menjadi pengemudi sepit merupakan awal dia bertemu dengan
tokoh wanita di buku ini. Wanita keturunan Cina yang cantik tapi bermuka sendu.
Wanita ini tetap duduk di atas sepit di saat semua orang turun karena tahu
bahwa Borno akan mengemudi tanpa didampingi Pak Tua. Wanita yang akhirnya
dicari-cari Borno karena amplop warna merahnya jatuh di bawah tempat duduk di
sepitnya. Butuh beberapa waktu dan
adegan yang mirip adegan James Bond saat berkejar-kejaran dengan perahu boat
hingga mereka bertemu kembali. Barno mengira amplop itu tak ada istimewanya,
hanya angpau seperti yang dibagikan wanita pada pengemudi sepit dan anak-anak
SD jadi dia hanya menyimpannya.
Beberapa
kali wanita itu menumpang sepit Borno saat ingin menyebrangi sungai Kapuas bahkan
sekali pernah diajari mengemudikan sepit tapi dia belum juga tahu namanya. Ya…
terkadang cinta itu rumit, bahkan yang mudah pun diperumit. Saat dia
“memancing” untuk tahu nama wanita itu justru malah mendatangkan perasaan tak
enak dalam dirinya setelah melihat reaksi wanita itu. Nama wanita itu ternyata
Mei. Satu hal yang menarik saya perhatikan dalam cerita ini, angka 13 selalu
muncul, mulai dari sepit antrian 13 sampai bulan malam 13. Apakah penulis ingin
mengatakan bahwa semua angka itu sama saja termasuk angka 13 yang sering dikonotasikan
sebagai angka sial? Entahlah, yang pasti sepit antrian 13 bermakna banyak dalam
hidup Borno bahkan juga Mei.
Lewat
surat, Mei berjanji bertemu dan meminta diajari mengemudi sepit pada Borno
keesokan harinya namun karena sesuatu hal justru Borno datang terlambat. Karena
takut Mei marah maka dia sibuk mencari tahu alamatnya. Saat bertemu justru Mei
akan berangkat ke Surabaya dan tak tahu kapan kembali. Mei kecil dulunya tinggal
di Pontianak tapi tiba-tiba saat umur 12 tahun seluruh keluarganya pindah ke
Surabaya. Walaupun masih memiliki rumah di Pontianak ia datang hanya tugas
sebagai guru magang dari kampusnya. Bila pernah mengalami jatuh cinta bahkan
perasaan apa pun itu kita pasti bisa memahami apa yang dirasakan oleh mereka
berdua.
“… Hebat sekali
benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap
padahal dunia sedang mendung, dan di kejab berikutnya merubah harimu jadi buram
padahal dunia sedang terang benderang.” (dialog Pak Tua,
halaman 132)
Selama
kepergian Mei, Borno melalui harinya dengan penuh semangat biarpun awal-awalnya
sulit. Dia merawat Pak Tua yang sebelumnya jatuh sakit, belajar jadi montir di
bengkel bapak Andi, tetap semangat menarik sepit seperti pesan Mei, dan
tentunya dia tetap memikirkan Mei. Kesempatan untuk bertemu Mei di Surabaya
ternyata datang menghampiri Borno, Pak Tua ternyata mengajak untuk menemaninya
terapi di sana. Lagi-lagi jalan untuk mereka bertemu diuji dan bukan hanya itu
saja, saat 2 hari terakhir Borno di Surabaya, dia bertemu ayah Mei yang terang-terangan tidak suka
padanya. Ia menganggap bahwa Borno akan membawa pengaruh buruk pada anaknya.
Awalnya saya mengira masalah yang menghalangi mereka berdua adalah ekonomi tapi
ternyata masa lalu (sejarah). Hal ini baru terbongkar di bab terakhir dan saya
tak pernah menyangka ceritanya seperti itu. Walau sejak awal saya menduga
memang ada hubungannnya saat keluarga Mei masih di Pontianak tapi hanya sampai
di situ, selebihnya penulis menjaga kerahasiaannya
hingga saat-saat terakhir.
Borno
kembali ke Pontianak dan menjalani hidup seperti biasa meski masih memikirkan
Mei. Ia justru mulai menanamkan pada dirinya bahwa mereka tak sebanding. Sampai
suatu ketika Mei datang kembali, dan seperti biasa hubungan mereka mengalami
pasang surut. Wanita yang ternyata pernah bertemu Borno saat umurnya 12 tahun
juga muncul pada masa-masa ini. Borno menjual sepit dan kemudian membuka
bengkel yang seharusnya besar tapi karena tertipu yang ada bengkelnya jadi
seadanya. Keadaan jadi lebih membingungkan bagi Borno saat Mei tanpa alasan
yang jelas meninggalkan, tak ingin bertemu, dan memperdulikannya. Kunci dari
semua kisah ini baru terjawab di akhir oleh sepucuk angpau merah.
Ide
cerita ini sangat menarik, riset latar cerita yang luar biasa. Penggambaran dan
penuturan ceritanya yang runut, sangat rapi. Walau banyak bercerita tentang
pasang surut hubungan Borno dan Mei tapi tetap tidak monoton dan membosankan.
Penokohannya pun sangat kuat, Pak Tua yang bijaksana mungkin akan menjadi
favoritku. Sampai di akhir cerita mungkin kita akan bertanya masih adakah
manusia yang lurus, mencintai dengan
tulus dan “malu-malu”? Kita harus tetap meyakininya dan mempercayainya
bahwa di belahan bumi ini masih ada manusia-manusia seperti itu. Selalu ada
harapan…
Saat
selesai membaca buku ini, apakah saya ingin menjualnya? Nampaknya tidak. Bukan
hanya kisah cinta biasa yang membuat kita membayangkan saat kita jatuh cinta
tapi banyak pelajaran hidup berharga yang bisa didapat dari buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar