Ketertarikan tingkat
tinggi terhadap buku, mungkin kali ini lebih tepat disebut terhadap buku yang
didiskon, bisa menyebabkan kekalapan bagi saya. Awalnya tidak berminat untuk
membeli tapi pada akhirnya yang terjadi adalah sebaliknya, semua karena
iming-iming diskon. Ini pulalah yang terjadi hingga buku ini ada dalam
genggaman saya. Walau telah terlanjur membelinya, di rumah sempat terbersit keinginan
untuk tidak membacanya dan ingin menjualnya saja. Saya memang tergolong orang
yang jarang membaca buku penulis Indonesia, bukan meragukan mereka tapi saya
justru ragu dengan diri saya sendiri untuk bisa menyukai karya mereka.
Kedengarannya seperti mengada-ada memang tapi butuh beberapa jam untuk saya
memutuskan membuka dan membaca buku ini.
Buku ini terdiri atas
11 cerita pendek yang ditulis oleh 8 penulis. Nama-nama mereka mungkin sudah
tidak asing lagi bagi kita apalagi bagi para penghuni dunia maya terutama
twitter dan blog.
Cerita pertama atau
lembaran-lembaran awal sebuah buku tentulah sangat menentukan apakah kita akan
betah membacanya atau tidak. Saat membaca cerita pertama bahkan paragraf
pertama buku ini saya sudah menyatakan bahwa saya telah jatuh cinta dan mungkin
akan lebih mencintai buku ini.
Humsafar
(Hanny Kusumawati)
“Julia
pernah bilang, cinta pada pandangan pertama hanya diperuntukkan bagi mereka
yang beruntung., sebaliknya, harus berurusan dengan cinta pada pandangan
terakhir. Cinta bukan hadir pada saat mereka saling menyapa, ketika berkata
“hai” atau “halo”, tetapi justru pada saat mereka harus berpisah dan saling
berucap “selamat tinggal”.”
Paragraf inilah yang membuat saya bertahan, rasa
penasaran saya telah tergelitik untuk mengetahui kelanjutan cerita ini. Insan berlawanan
jenis yang berasal dari negara yang berbeda, latar belakang dan pekerjaan yang
berbeda, bertemu dalam waktu yang singkat namun sanggup menhadirkan
ketertarikan dan keterikatan yang tak sesaat. Gaya penulis menceritakaannya
membuat saya teringat pada penulis Korea Selatan, Kyung Sook Shin (Please Look
After Mom). Dia bercerita dari sudut pandang pria yang sejak lama telah
mengenal sosok Julia, lama sebelum Shah hadir dalam hidupnya, pria yang selalu
menemaninya.
Selesai dengan cerita pertama, saya berpikir untuk
berhenti membaca. Ingin rasanya menunggu hujan turun agar lebih meresapinya.
Kesemua cerita dalam buku ini memang melibatkan hujan, ya namanya juga ’11
cerita pendek di hari hujan’. Bertahan selama 2 hari, saya nyatanya tergoda
untuk melanjutkannya. Saya takkan menunggu hujan tapi akan membacanya lagi saat
hujan turun untuk merasakan perbedaannya.
Kala membaca cerita-cerita berikutnya saya berusaha
untuk menangkap beberapa hal yang ingin disampaikan penulis. Hal ini tidaklah
mudah, malah muncul keraguan akan kebenaran interpertasi saya tentang cerita
tersebut. Saya hanya akan memilih beberapa cerita dan pendapat saya tentangnya.
Daun
Palma (Wisnu Nugroho)
Membaca cerita ini dan membayangkannya seakan
seperti sinetron dimana tokoh utamanya menurut bahasa anak gaul zaman sekarang “lagi
galau”. Mengesampingkan semua hal itu, penulis menggambarkan dengan indah
perasaan pria yang tak bisa lagi bersama dengan kekasihnya. Awalnya sedih tapi
dia kemudian bisa bangkit meski butuh waktu yang cukup lama. Perasaan memang
tak cukup hanya dengan kata “galau”, akan lebih menarik jika dilukiskan dengan
rangkaian kata penuh makna.
Lelaki
Naga (Ndoro Kakung)
Proses pendewasaan diri akan berjalan seiring waktu
berlalu. Tapi, itu tergantung seberapa dalam kita belajar dari sebuah
pengalaman diri atau pun orang lain.
“Dalam
kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik.”
Kematangan penulis sangat terlihat dan terasa dalam
cerita ini. Bagi saya, masih banyak hal luar biasa yang tidak bisa didapatkan
karena kurangnya pengalaman yang saya miliki.
Enam
Jam (Hanny Kusumawati)
Mengapa judulnya Enam Jam? Karena tokoh dari cerita
ini hanya punya waktu enam jam bersama wanita yang sebenarnya dia cintai
sebelum harus menikah.
Nai adalah teman Bian sejak SD, sampai saat dia dan
keluarganya kecelakaan pun yang diingat hanyalah nomor telepon rumah Nai, bukan
nomor telepon pacarnya, Layla. Nai sudah berhenti mencintai Bian, lebih tepatnya
menerima bahwa lelaki itu lebih memilih wanita lain. Meski akhirnya karena
keadaan Bian harus menikah dengan Layla, dia sebenarnya mencintai Nai.
“Setiap
pilihan punya konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kita, kita bukan anak-anak
lagi.”
Keputusan
yang kita ambil harus dihadapi apapun akibatnya. Banyak kesempatan telah
diberikan hidup hingga rasanya tak bijak untuk terus menyesal, kita harus terus
berjalan. Cerita ini membuat saya ingin mengutip perkataan McDreamy pada adik
iparnya, Lexy Grey, dalam drama seri Grey’s Anatomy.
“Make
sure you want him because you want him.”
Perempuan
yang Melukis Wajah (Karmin Winarta)
Tak perlu berpanjang-lebar untuk melukiskan cerita
ini. Cinta memang gila. Dan, kita bisa benar-benar gila karena cinta.
Hujan.
Deras Sekali (M. Aan Mansyur)
Ini ada cerita terakhir dalam buku ini, saya bisa
benar-benar merasakan nuansa klimaks keseluruhan buku setelah membacanya.
Bagaimana saya harus menjabarkannya? Sederhana, menarik, lucu. Saya benci
perselingkuhan tapi cerita ini tidak disajikan dalam gaya yang membuat kita
jengkel dan mengutuk Perselingkuhan terjadi dalam masyarat dan banyak faktor
yang mendasarinya. Anda selingkuh? Pasangan Anda selingkuh? Atau, sama-sama
selingkuh? Itulah yang muncul dalam pikiran saya. Jadi jika diharuskan, mana
yang akan Anda pilih?
Buku ini adalah karya
yang mengundang kekaguman, cantik laksana pelangi dikala hujan telah membasahi
bumi. Suatu kepuasaan bisa menikmatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar