Selasa, 26 November 2013

Review The Miracle of Grace (Keajaiban Grace)





Buku ini sebenarnya telah beberapa minggu saya beli tapi baru sempat untuk membacanya, saking penasarannya saya mencuri-curi waktu. Pertama kali jatuh cinta pada karya Kate Karrigan saat membaca Recipe of A Perfect Marriage. Sejak itu saya terus mencari-cari dan menunggu karyanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Tapi, baru tahun ini hal itu terwujud setelah penantian yang panjang.

Seperti sampul buku pertama Kate yang saya baca, sampul buku ini pun menarik. Terasa hangat dan membuat ingin pulang ke rumah dan bertemu ibu. Suasana rumahan pada sampulnya memang tidak jauh dari tema tulisan Kate, keluarga. Jika di buku pertama bertaburan bahan masakan, kali ini ada pot, bunga, perlengkapan berkebun. Bagi saya, ini mengambarkan kehidupan seorang ibu yang di hari tuanya hidup mandiri, mengerjakan rutinitasnya termasuk berkebun. Tapi apakah tokoh ibu dalam buku ini sama dengan yang saya pikirkan?

Grace adalah pengajar di sekolah putri St. Anne. Dia secara sukarela menjadi konselor bagi 400 muridnya yang masih remaja. Usianya sekitar 40-an dan berpisah dengan suaminya selama 8 tahun. Grace terkadang merasa bahwa ibunya bisa lebih hebat lagi. Dia tidak tinggal bersama ibunya namun hampir tiap hari mengecek keadaannya. Suatu hari Grace datang membawakan buku resep, tanpa sengaja menemukan daftar kegiatan harian ibunya. Dari situlah dia tahu bahwa ibunya mengidap kanker indung telur stadium akhir. Dia sangat terpukul bukan hanya karena mungkin saja ibunya tidak akan hidup lama lagi tapi juga karena mengetahui hal ini tidak langsung dari mulut ibunya. Bagaimana Grace akan menghadapi situasi ini ditambah lagi dengan sang suami yang telah dianggap belahan jiwanya tiba-tiba muncul dan meminta cerai karena telah menemukan wanita lain?

Eileen lahir pada tahun1943 di Ballamore, kota kecil di pantai barat Irlandia. Ayahnya jurutulis senior meski bukan orang kaya tapi cukup dihormati karena berpendidikan. Dia dibesarkan dalam keluarga Katholik yang cukup taat. Suatu kejadian mengubahnya meski masih percaya pada ajaran agamanya tapi imannya tak sama lagi. Ibunya kemudian mendaftarkannya ke kursus komersial di Dublin dan karena menyukai kehidupan di kota itu ia kemudian berusaha mendapatkan pekerjaan. Tak lama dia bertemu dengan John Blake, hidupnya semakin berubah saat tahu bahwa dirinya hamil sementara John telah meninggalkannya ke Prancis. Dia kemudian memutuskan pergi ke London dan karena waktu itu hamil di usia belia tanpa suami adalah aib maka dia menyerahkan anaknya untuk diadopsi. Beberapa tahun di London, dia bertemu kembali dengan John dan akhirnya menikah. Lahirlah Grace meski pernikahannya jauh dari kata bahagia. Eileen mendapatkan pekerjaan terakhirnya karena Grace mendorongnya. Dia memang terkadang merasa tak percaya diri dan Grace tahu itu. Tidak memberitahu Grace bahwa dirinya mengidap kanker pun karena dia tidak ingin anaknya khawatir dan justru akan mengambil alih keadaan. Eileen merupakan tipe wanita yang mandiri dan tak mau diatur. Waktu Eileen tak banyak, penyakitnya akan semakin parah. Kesalahan masa lalunya pun masih membayangi. Banyak yang ingin dilakukan untuk teman-temannya, dirinya, dan terutama untuk Grace. Bagaimana dia akan menyelesaikannya sementara hubungan dengan Grace pun tidak terlalu baik?

Cita rasa Irlandia selalu terasa dalam setiap karya Kate Kerrigan tak terkecuali “Keajaiban Grace” ini. Cerita ini diramu secara apik, tiap bab berselang-seling, meski di pertengahan ada 2 bab untuk satu tokoh, menceritakan tentang 2 tokoh utamanya. Mereka bercerita dari sudut pandangnya masing-masing tapi ada yang sedikit berbeda, Eileen bercerita dari masa lalunya hingga akhir secara runut sedangkan Grace bermula dari dia mengetahui ibunya sakit dan menghadapi semuanya meski akan ada alur mundur tapi lebih sebagai keterangan dalam bab yang sama. Beberapa orang mungkin akan menganggap gaya bercerita seperti ini mengganggu tapi bagi saya sangat mengasyikkan, membuat lebih penasaran, dan lebih nyata untuk menunjukkan bahwa masa lalu mempengaruhi masa kini dan mempengaruhi hidup orang lain. Bahasa yang digunakan dalam bercerita pun tidak berat dan mudah dicerna hingga membantu lebih menonjolkan kemandirian dan kebebasan tokohnya. Kalimat-kalimatnya tidak menggurui tapi lebih mengajak untuk menelaah masalah dan hubungan antar tokohnya.

Buku ini memang tidak ada masalah dari segi cerita sepanjang penglihatan saya tapi saat membaca tulisan dari Entirely-nya Louise MacNeice sebelum epilog yang ikut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu agak mengganggu. Penggalan seperti ini lebih indah dan sederhana bila disajikan dengan bahasa aslinya. Bila tetap ingin diterjemahkan, lebih baik dengan tetap menyertakan aslinya.

Saat membaca buku ini, terpikir bahwa terkadang saya memang melakukan dan merasakan hal yang sama seperti Grace terhadap ibunya bahkan perasaan menghadapi operasi itu telah saya rasakan saat masih SMP. Mama saya juga kadang seperti Eileen. Membaca cerita ini kadang seakan melihat diri sendiri tapi harus melihat lebih dalam agar lebih bermakna. Tapi beda orang beda rasa, pengalaman, dan opini saat membaca sebuah buku jadi alangkah baiknya jika dicoba sendiri.

“Aku takkan pernah bisa yakin apakah kegelisahanku sendiri atau kegagalan ibukulah yang membuat dia terasa tak pernah cukup bagiku. Jauh di lubuk hati, aku tahu dia ibu yang hebat, tapi entah mengapa, aku selalu merasa kesal kepadanya.” (halaman 14)

“Tak peduli sedalam apa pun aku menyayanginya –atau mungkin justru karena itu—aku terdorong untuk selalu menunjukkan kesalahan Mum. Aku ingin ia menjadi perkecualian dalam setiap aturan yang kuketahui mengenai perilaku manusia. Di depan umum aku mengatakan ibuku benar-benar hebat, tapi diam-diam sifat kanak-kanak dalam diriku selalu percaya bahwa sebenarnya  ibuku bisa lebih hebat lagi.” (halaman 15-16)

“Memang tak sebanyak yang kuharapkan, tapi cukup berarti. Adakalanya kau harus mau menerima sebanyak yang diberikan Tuhan kepadamu dan mensyukurinya.” (halaman 263)