Rabu, 23 Oktober 2013

Review Marriageable




Lama juga g’ bikin review buku penulis Indonesia, sebenarnya lagi g’ niat-niat amat sih tapi tak apalah. Beberapa hari lalu saya membaca Marriageable-nya Riri Sardjono. Suka banget, bikin senyam-senyum dan kadang ngakak. Saya memang lagi butuh buku seperti ini, sangat menyenangkan untuk melepaskan diri sejenak dari penatnya kehidupan (tsaaah… bahasanyaaa).

Tema ceritanya sebenarnya sudah umum, wanita yang sudah hampir expired terus dijodohin sama mamanya. Tapi, sebiasa-biasanya sebuah cerita kalau diramu dengan baik bakal jadi g’ biasa. Kayak manusia meski mungkin ada yang masalahnya sama tapi dihadapi dengan caranya sendiri, itu yang bikin dia beda dengan yang lain. Nah, dalam ceritanya ini penulis sukses melakukan itu. Gaya bertutur tokoh-tokohnya yang sarkastis tapi menurut saya ada benarnya, sangat mengasyikkan dan mengalir. Mungkin satu hal bagi saya yang g’ terlalu asyik dari buku ini, terlalu banyak “rokok” tapi ya itu hidup mereka, duit mereka, asal asapnya g’ ke muka dan kehirup saya saja. Alangkah baiknya kalau hal yang lebih banyak mudaratnya dihindari (yaelah, malah ceramah).

Dalam kehidupan nyata sebenarnya saya bukan penggemar perjodohan tapi paling suka bilang, “coba saja dulu, siapa tahu cocok, g’ ada salahnya kan?” Jika sudah di ambang batas kayak si Flory ini dan dijodohin sama cowok kayak Vadin ya mungkin saja saya mau (ini sih ngarep). Ya apalagi sih yang dicari kalau sebenarnya sudah nyaman sama dia, baik, mapan, (tambahan bagi saya, ibadahnya ok)? CINTA? Cinta bisa datang dari semua itu dan ya… cinta memang perlu tapi cinta bukan segalanya, darling! (Jangan protes karena ini menurut saya)

Sorry, lebih banyak curcol dari pada bahas ceritanya! :)

You get married not to be happy but to make each other happy. –Roy I. Smith

Senin, 21 Oktober 2013

Studio Artist Cream Blush






Setiap kali menonton drama Korea selain memperhatikan aktornya yang ganteng-ganteng, salah satu yang terlintas dalam pikiran saya adalah bagaimana membuat pipi merona sealami  aktris-aktrisnya. Tentunya banyak perbedaan antara saya dengan mereka, mulai dari kondisi kulit, perbedaan iklim Korea dengan Indonesia, dan kondisi kantong juga sih… Kondisi ini bukan menjadi penghalang bila kita mendapatkan produk yang sesuai. Kali ini saya ‘bertemu’ dengan Oriflame Beauty Studio Artist Cream Blush.
Produk yang merupakan bagian dari seri make-up Oriflame Beauty Studio Artist ini mengandung Illuma Fair Complex yang dipercaya dapat memencarkan cahaya di permukaan kulit secara alami. Hal ini berarti memungkinkan wanita tampil dengan wajah yang lebih lembut berseri, menonjol tapi tidak terlihat kasar.
Cream blush ini dikemas hampir mirip pasta gigi namun dalam ukuran mini, hanya 20 ml. Terlalu kecil? Tidak, apa lagi untuk ukuran muka saya yang mungil. Kita hanya butuh 3-4 titik cream untuk masing-masing bagian pipi yang ingin dipertegas. Baurkan ke arah pelipis, tambahkan jika ingin dampak yang lebih. Penambahan bukanlah masalah untuk dilakukan karena warna produk ini sangat mudah bercampur dengan warna kulit sehingga hasilnya pun memberikan efek fokus dan lembut. Jika warnanya terlalu kuat pun sama, cukup lapisi lagi dengan sedikit bedak.
Satu hal lagi yang membuat tertarik dengan produk ini, selain sebagai perona pipi ternyata juga bisa digunakan pewarna bibir. Cukup tambahkan lip gloss untuk hasil akhir agar terlihat mengkilap.
Oriflame Beauty Studio Artist Cream Blush dibuat dalam 3 varian warna, Soft Peach, Pink Glow, dan Sheer Berry. So, pilihlah warna yang sesuai (selera dan warna kulit) untuk pipi merona alamimu!
NB: *Baurkan dengan kuas foundation atau jari-jari Anda
        *Warna yang terpancar juga tergantung cahaya yang ada.
       
Produk Name: Oriflame Beauty Studio Artist Cream Blush
Price: Rp 99.000,- (tergantung katalog)

Senin, 07 Oktober 2013

Me and Online Shop

“Ini bukan salah online shop tapi saya saja yang kurang pintar” – Me

Kenapa saya g’ menyalahkan si online shop? Karena sebenarnya saya tahu bahwa seharusnya g’ belanja di sana mengingat tingkat kepuasaan saya yang kadang sulit dipenuhi.
Seumur-umur saya baru dua kali belanja di online shop. Pertama, beli wallsticker dan pashmina. Kedua, beli sweater. Pelayanan mereka terus terang sangat memuaskan dan barangnya pun sampai tepat waktu. Lalu, masalahnya di mana? Saya menulis ini setelah (tapi baru dipublikasikan sekarang) menerima sweater yang di foto IG online shop terlihat sangat manis tapi aslinya so-so.  G’ buruk-buruk amat sih cuma ya gitu deh…
Seharusnya, sebelum belanja di online shop saya ingat kembali aturan ini:
  • Jangan belanja baju dan sepatu karena jika ukurannya berbeda sedikit saja bakal ribet.
  • Pikirkan baik-baik warnanya. Lebih baik yang satu atau dua warna dengan perpaduan yang meyakinkan sehingga jika warnanya bergeser (lebih muda atau tua) tidak akan terlalu bikin gemas.
  • Tanyakan detail-detail barang yang ingin dibeli (bahan, ukuran, model, dst).
  • Pastikan online shop tersebut terpercaya. Bisa dilihat dari respon pembelinya (testimony) atau yang sering saya lakukan, memilih yang pernah mengendorse orang-orang terkenal.
  • Bila pertama kali belanja di online shop tersebut sebaiknya membeli 1 atau 2 barang dengan harga yang murah saja. Tanyakan berapa ongkos kirimnya. Saya biasanya hanya belanja di bawah seratus ribuan dan sudah termasuk ongkos kirim.   
  • Berpikir dan berpikirlah sebelum benar-benar membeli barang yang diinginkan.
Aturan di atas sih bagi saya, ya terserah mau diterapkan atau g’, kan belanjanya pakai duit masing-masing.
Kembali ke si sweater, bagaimana karena sudah terlanjur saya beli? Sebenarnya bisa dijual tapi berhubung kepedean lagi tingkat durjana jadi yakin saja klo saya yang pakai bakal oke. *dipersilahkan untuk melempar tomat* :)

Review Inferno


Sedari awal  sudah jadi penggemar Dan Brown tapi dari semua bukunya baru kali ini saya berniat mereview. Bukan karena yang sebelumnya tak puas tapi murni karena memang lagi tidak ingin. Maaf jika review ini tidak memuaskan karena terus terang saya tidak pernah mereview buku setebal dan serumit ini.
Inferno, butuh 5 hari saya membaca buku ini. Tidak seperti biasa, ini memang terlalu lama karena ada hal lain yang harus saya bereskan. Saat buku ini rilis bulan Mei lalu terus terang saya tidak membaca satu review pun dari orang-orang yang sudah membaca dan para kritikus buku. Peduli amat bagus atau jelek tetap akan saya beli juga. Tapi, semalam akhirnya saya membaca beberapa review. Ternyata banyak kritik tajam tentang buku ini dan tentunya berujung pada sang penulis. Sedikit melenceng, membaca review ini saya tersadar bahwa ada beberapa pembaca yang suka menuntut lebih tanpa menyadari kerja keras dan susahnya penulis. Ada juga yang mengkritik tapi justru terlihat seperti orang iri, mungkin mereka harus mencoba menulis dan menghasilkan karya terkenal dengan penjualan tinggi.
Ok, mungkin saya salah satu pembaca yang suka dengan buku ini. Saya suka sejarah dan bertahun-tahun belajar hubungan internasional, organisasi internasional, terorisme, dst. Meski demikian, saya juga harus melihat secara keseluruhan dari buku ini. Dan Brown secara garis besar mengambil ide dari Inferno-nya Dante Alighieri dan overpopulasi. Sebenarnya saya mengerti keterkaitan ide ini tapi saat membangun cerita ada hal-hal yang kurang greget. Sederhananya, Dan Brown terlalu lama membicarakan tempat-tempat yang dikunjungi Robert Langdon serta benda-benda yang ada di situ. Akibatnya, unsur ketegangan yang diperoleh pembaca terpotong-potong. Karena hal ini pula saya sempat behenti membaca untuk lebih dahulu mencari gambar-gambar tempat dan benda yang diceritakan untuk mendukung membayangkan perjalanan dalam buku ini. Bagusnya saya jadi tahu karena selama ini tidak terlalu familiar dengan tempat-tempat yang disebutkan terutama Florence.
Mungkin dari segi meramu dan kerumitan kode bagi saya tetaplah The Da Vinci Code yang terbaik dari karya-karya Dan Brown. Sangat sulit untuk mengalahkan buku pertamanya tapi satu hal yang tak hilang adalah keahliannya menjaga agar pembaca tetap penasaran dan ceritanya tidak terbaca. Beberapa kali menduga-duga dan meski telah yakin tetap saja saya terkelabui. Ada kalimat dalam buku ini yang lebih-kurang, menurut yang saya pahami, bahwa apa yang kita lihat belum tentu itu yang dimaksud. Ya… ada bagian dari buku ini yang beberapa halaman barulah saya sadari dan itu membuat ingin mengumpat sekaligus mengakui kelihaian penulis.
Membaca buku ini mulai dari ucapan terima kasih penulis, jelas bahwa riset dan kerja keras untuk menghasilkan buku ini luar biasa. Validitas data dan sumber yang dijadikan referensi pun tidak diragukan. Mungkin ada yang meragukan keberadaan organisasi swasta “Konsorsium” dalam buku ini tapi saya bisa katakan itu memang ada. Setelah membaca hingga akhir saya membayangkan jika difilmkan akan luar biasa (dengan penulis skenario yang bagus tentunya). Untuk melihat hal ini menjadi kenyataan masih lama karena baru 2015 Inferno dijadwalkan akan rilis dengan sutradara Ron Howard (salah satu sutradara favorit saya apalagi setelah dia berhasil dengan Rush).
Bagi yang belum baca buku ini dan berniat untuk baca ya nikmati saja dengan teliti. Pendapat orang memang beda-beda, kalian akan punya pendapat sendiri setelah membacanya karena tidak selamanya orang-orang memandang dari arah yang sama. :)