Rabu, 31 Oktober 2012

Ketika Beruang Tak Lucu Lagi (ditulis untuk #halloweenika @ikanatassa)


“Your wife here just flew 23 hours to see you, Ben.” Him: “Iya, Yang. Iya.  Me: “So janji pulang jam 7 benar lho.” Him: “Iya.”

I think I’m just gonna order room service for lunch and go back to sleep. Jetlag-nya bikin ngantuk-ngantuk lemes gini.

Setelah makan, Alexandra kembali tertidur tanpa mempedulikan suara berisik yang terdengar di depan pintu kamarnya. Lama-kelamaan suara itu semakin keras. Sunyi… Tak lama terdengar suara mirip ketukan meski kurang mantap. Dengan  terseret-seret akhirnya Alex melangkah menuju pintu. Ia mengira Beno pulang lebih cepat tapi saat membuka pintu perasaan aneh mulai menghinggapi dirinya, tak ada siapa pun di sana. Ingin buru-buru menutup pintu tapi belum sempat melakukannya tiba-tiba ada sesuatu berbulu yang menggelayuti kakinya. Ia sempat mematung dan mulai gemetar tak sanggup untuk melihat ke bawah. Berniat berlari tapi terlalu berat, cengkraman di pergelangan kakinya terlalu kuat. Akhirnya, Alex mengumpulkan keberanian untuk melirik ke bawah dan… ternyata sesuatu berbulu itu seekor anak beruang lucu namun tampangnya sangat menyedihkan tak ubahnya seperti dirinya yang habis ketakutan.

“Bagaimana anak beruang ini bisa ada di sini?”

Alex kembali mengecek tapi tak ada seorang pun di sekitar situ. Masih lelah, ia memutuskan untuk nanti saja mengurus masalah beruang. Lagi pula beruang itu nampak bersahabat jadi lebih baik ia mengajaknya masuk, hitung-hitung ada yang menemaninya sampai Beno pulang.

Belum sampai 20 menit, tiba-tiba terdengar suara langkah yang ramai di lorong disertai dentuman mirip suara langkah Hulk meski lebih rendah. Alex tak berani mengintip melalui lubang yang ada di pintu, ia hanya berdiri diam. Anak beruang yang bersamanya hanya mengeluarkan suara kecil lebih menyerupai cicitan ketakutan dari pada geraman menakuti. Tak butuh waktu lama hingga langkah itu berhenti di depan pintu. Senyap… Kemudian… “BUKK,” pintu hancur. Di hadapan Alex berdiri sosok yang menyeramkan dengan mata merah, isi perut yang telah terkoyak dengan beberapa bagian keluar dan menggantung. Darah yang mulai mencoklat meski ada beberapa bagian yang masih merah terutama di bagian lengan. Ya, dia baru saja digigit dan dia tak datang sendiri di belakangnya berdiri pegawai-pegawai hotel dan orang-orang yang menginap di hotel itu, berdesakan ingin memasuki kamar. Raut muka mereka tak bersahabat lagi seperti saat Alex baru datang ke hotel itu. Wajah-wajah kelaparan, darah merah kecokelatan di bibir dengan pakaian compang-camping serta tubuh yang tak sempurna lagi, beberapa bagian terkoyak menampakkan daging. Mereka terbilang masih segar, jika pernah melihat sapi yang baru mati karena sakit tapi tetap dijual seperti itulah kelihatannya daging mereka. Tak segar tapi tetap daging, mungkin kita pernah memakannya di bakso atau sup. Siapa yang tahu?

Mereka zombie yang tak pernah kenyang semakin mendekat ke arah Alex, termasuk sosok besar menyeramkan tadi yang ternyata adalah beruang dewasa. Alex semakin mundur ketakutan tak tahu apa yang harus dilakukan, ia masih menggendong anak beruang. Ia yang sekarang berada di dekat jendela mengumpulkan keberanian dan kekuatannya kemudian melempar anak beruang ke arah muka beruang dewasa. Cakar-cakar kecil anak beruang berhasil melukai muka beruang dewasa dan mengalih perhatiannya serta zombie yang lain. Keadaan ini dimanfaatkan Alex untuk mencoba meloncat dari jendela. Tapi…

“Ting…tong…”

Sudah hampir jam 6, Alex yang masih keringat dingin buru-buru membuka pintu. Beno telah pulang namun ada yang aneh… Di mukanya terdapat bekas cakaran meski tak terlalu panjang dan dalam.


Di-twist dari Twivortiare, halaman 161-162.
(Kurang masuk akal? Suka-suka sayalah, kan saya yang tulis. Lagian itu cuma mimpi, bisa ngawur. :p)


Jumat, 12 Oktober 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


“Ada tujuh milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan bumi mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.”
Hanya sepenggal tulisan ini dan komentar-komentar dari orang-orang yang tak satu pun namanya kukenal ada di bagian belakang sampul. Tak memberi gambaran mengenai kisah yang ada di dalamnya selain bahwa kisah ini adalah sebuah kisah cinta sepasang anak manusia. Sebagai orang yang baru pertama kali akan membaca karya Tere Liye, hal ini sangat tidak membantu untuk mempertimbangkan apa saya akan membelinya atau tidak.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, itulah judul buku ini yang tertulis indah di sampul depannya yang berwarna jingga. Terus terang warna sampulnya pun saya tak yakin. Yang pasti, di sampul ini tergambar seorang wanita memakai payung berdiri menyamping seakan memandang sungai. Mungkin dia berdiri di dermaga karena di sekitarnya tertambat beberapa perahu (yang kemudian kuketahui namanya sepit). Judul dan sampul buku ini justru semakin menumbuhkan rasa penasaranku. Apa hubungan ‘Kau’ dan ‘Aku’ dg ‘Sepucuk Angpau Merah’? Kenapa sampulnya seperti itu? Apa sedikit-banyak mewakili cerita yang tergambar di dalamnya? Dari pada semakin sibuk dengan berjuta pertanyaan, akhirnya saya membeli buku ini. Jika tidak suka atau puas membacanya toh nanti bisa saya jual jadi tak ada ruginya mencoba karya satu ini.
Bila memiliki buku baru, sebelum membacanya saya sangat suka melihat jumlah halamannya dan sering tergoda membaca random. Tapi, kali ini kebiasaan aneh yang agak jelek itu saya urungkan mengingat buku ini 507 halaman, terdiri dari 37 bab beserta prolog dan epilognya, bakal sangat membingungkan jika dibaca random karena kemungkinan besar akan ada cerita yang terlewatkan. Apakah saat telah membaca beberapa bab akhirnya saya menyerah dan memilih membaca random? Tidak… Saya tetap membacanya dengan runut dan menikmati alur ceritanya.
Cerita bermula saat Borno si tokoh utama berusia 6 tahun, masih polos dengan pertanyaan dan pemikiran tipikal anak seumurannya. Ia ingin tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan kotoran manusia dari hulu sungai Kapuas untuk hanyut sampai ke muara, melintasi rumah papan keluarganya. Kisah ini memang dibuat berlatarkan kehidupan masyarakat Pontianak yang hidup dipinggiran Kapuas. Namun, pada bagian prolog ini baru karakter beberapa tokohnya saja yang bisa kita pahami,selain Borno kecil, seperti Koh Acong, Cik Tulani, Pak Tua, bapak dan ibu Borno. Di bagian ini pula kejadian yang  mempengaruhi proses pendewasaan, kehidupan cinta, dan masa depan Borno terjadi. Saat usianya 12 tahun, bapaknya meninggal karena sengatan ubur-ubur dan memutuskan untuk mendonorkan jantungnya sebelum dia meninggal.
Buku ini tidak hanya bercerita tentang kisah cinta  tapi juga menambah pengetahuan. Pada bab-bab awal justru bercerita tentang sejarah asal-muasal nama kota Pontianak, kehidupan masyarakat di tepi sungai Kapuas, pekerjaan mereka terutama para pengemudi sepit (ternyata berasal dari kata speed), makna sepit Borno pada  bab ini sudah besar, sekitar 10 tahun setelah bapaknya meninggal, telah bermunculan beberapa tokoh baru baru seperti Andi sahabatnya, bapak Andi yg keturunan Bugis, Bang Togar ketua pengemudi sepit, serta beberapa pengemudi sepit lainnya. Borno yang telah tamat SMA sebenarnya ingin kuliah tapi hidup berkata lain ia harus mencari kerja, di PHK, bekerja kesana-kemari dengan dengan berbagai rintangan. Meski awalnya dia tak ingin karena wasiat bapaknya namun toh akhirnya dia jadi pengemudi sepit. Ia menganggap bahwa bapaknya tidak ingin dia jadi nelayan ataupun pengemudi sepit namun Pak tua dengan bijak menjelaskan bahwa makna pernyataan bapaknya itu adalah ingin dia menjadi lebih baik, bukan melarangnya sama sekali. Orang tua selalu ingin anaknya lebih hebat dari dirinya tapi bukan berarti ia melarang anaknya sama dengannya bila itu baik.
Hari pertama Borno resmi menjadi pengemudi sepit merupakan awal dia bertemu dengan tokoh wanita di buku ini. Wanita keturunan Cina yang cantik tapi bermuka sendu. Wanita ini tetap duduk di atas sepit di saat semua orang turun karena tahu bahwa Borno akan mengemudi tanpa didampingi Pak Tua. Wanita yang akhirnya dicari-cari Borno karena amplop warna merahnya jatuh di bawah tempat duduk di sepitnya.  Butuh beberapa waktu dan adegan yang mirip adegan James Bond saat berkejar-kejaran dengan perahu boat hingga mereka bertemu kembali. Barno mengira amplop itu tak ada istimewanya, hanya angpau seperti yang dibagikan wanita pada pengemudi sepit dan anak-anak SD jadi dia hanya menyimpannya.
Beberapa kali wanita itu menumpang sepit Borno saat ingin menyebrangi sungai Kapuas bahkan sekali pernah diajari mengemudikan sepit tapi dia belum juga tahu namanya. Ya… terkadang cinta itu rumit, bahkan yang mudah pun diperumit. Saat dia “memancing” untuk tahu nama wanita itu justru malah mendatangkan perasaan tak enak dalam dirinya setelah melihat reaksi wanita itu. Nama wanita itu ternyata Mei. Satu hal yang menarik saya perhatikan dalam cerita ini, angka 13 selalu muncul, mulai dari sepit antrian 13 sampai bulan malam 13. Apakah penulis ingin mengatakan bahwa semua angka itu sama saja termasuk angka 13 yang sering dikonotasikan sebagai angka sial? Entahlah, yang pasti sepit antrian 13 bermakna banyak dalam hidup Borno bahkan juga Mei.
Lewat surat, Mei berjanji bertemu dan meminta diajari mengemudi sepit pada Borno keesokan harinya namun karena sesuatu hal justru Borno datang terlambat. Karena takut Mei marah maka dia sibuk mencari tahu alamatnya. Saat bertemu justru Mei akan berangkat ke Surabaya dan tak tahu kapan kembali. Mei kecil dulunya tinggal di Pontianak tapi tiba-tiba saat umur 12 tahun seluruh keluarganya pindah ke Surabaya. Walaupun masih memiliki rumah di Pontianak ia datang hanya tugas sebagai guru magang dari kampusnya. Bila pernah mengalami jatuh cinta bahkan perasaan apa pun itu kita pasti bisa memahami apa yang dirasakan oleh mereka berdua.
“… Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejab berikutnya merubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang.” (dialog Pak Tua, halaman 132)
Selama kepergian Mei, Borno melalui harinya dengan penuh semangat biarpun awal-awalnya sulit. Dia merawat Pak Tua yang sebelumnya jatuh sakit, belajar jadi montir di bengkel bapak Andi, tetap semangat menarik sepit seperti pesan Mei, dan tentunya dia tetap memikirkan Mei. Kesempatan untuk bertemu Mei di Surabaya ternyata datang menghampiri Borno, Pak Tua ternyata mengajak untuk menemaninya terapi di sana. Lagi-lagi jalan untuk mereka bertemu diuji dan bukan hanya itu saja, saat 2 hari terakhir Borno di Surabaya, dia bertemu  ayah Mei yang terang-terangan tidak suka padanya. Ia menganggap bahwa Borno akan membawa pengaruh buruk pada anaknya. Awalnya saya mengira masalah yang menghalangi mereka berdua adalah ekonomi tapi ternyata masa lalu (sejarah). Hal ini baru terbongkar di bab terakhir dan saya tak pernah menyangka ceritanya seperti itu. Walau sejak awal saya menduga memang ada hubungannnya saat keluarga Mei masih di Pontianak tapi hanya sampai di situ,  selebihnya penulis menjaga kerahasiaannya hingga saat-saat terakhir.
Borno kembali ke Pontianak dan menjalani hidup seperti biasa meski masih memikirkan Mei. Ia justru mulai menanamkan pada dirinya bahwa mereka tak sebanding. Sampai suatu ketika Mei datang kembali, dan seperti biasa hubungan mereka mengalami pasang surut. Wanita yang ternyata pernah bertemu Borno saat umurnya 12 tahun juga muncul pada masa-masa ini. Borno menjual sepit dan kemudian membuka bengkel yang seharusnya besar tapi karena tertipu yang ada bengkelnya jadi seadanya. Keadaan jadi lebih membingungkan bagi Borno saat Mei tanpa alasan yang jelas meninggalkan, tak ingin bertemu, dan memperdulikannya. Kunci dari semua kisah ini baru terjawab di akhir oleh sepucuk angpau merah.
Ide cerita ini sangat menarik, riset latar cerita yang luar biasa. Penggambaran dan penuturan ceritanya yang runut, sangat rapi. Walau banyak bercerita tentang pasang surut hubungan Borno dan Mei tapi tetap tidak monoton dan membosankan. Penokohannya pun sangat kuat, Pak Tua yang bijaksana mungkin akan menjadi favoritku. Sampai di akhir cerita mungkin kita akan bertanya masih adakah manusia yang lurus, mencintai dengan  tulus dan “malu-malu”? Kita harus tetap meyakininya dan mempercayainya bahwa di belahan bumi ini masih ada manusia-manusia seperti itu. Selalu ada harapan…
Saat selesai membaca buku ini, apakah saya ingin menjualnya? Nampaknya tidak. Bukan hanya kisah cinta biasa yang membuat kita membayangkan saat kita jatuh cinta tapi banyak pelajaran hidup berharga yang bisa didapat dari buku ini.
Ulang Tahun
Adakah makna untukmu?
Atau, hanya sekedar waktu berlalu?
Pergi, tak kembali.

(#puisi malam, @gojimal, @nulisbuku)

Perempuan yang Melukis Wajah




Ketertarikan tingkat tinggi terhadap buku, mungkin kali ini lebih tepat disebut terhadap buku yang didiskon, bisa menyebabkan kekalapan bagi saya. Awalnya tidak berminat untuk membeli tapi pada akhirnya yang terjadi adalah sebaliknya, semua karena iming-iming diskon. Ini pulalah yang terjadi hingga buku ini ada dalam genggaman saya. Walau telah terlanjur membelinya, di rumah sempat terbersit keinginan untuk tidak membacanya dan ingin menjualnya saja. Saya memang tergolong orang yang jarang membaca buku penulis Indonesia, bukan meragukan mereka tapi saya justru ragu dengan diri saya sendiri untuk bisa menyukai karya mereka. Kedengarannya seperti mengada-ada memang tapi butuh beberapa jam untuk saya memutuskan membuka dan membaca buku ini.

Buku ini terdiri atas 11 cerita pendek yang ditulis oleh 8 penulis. Nama-nama mereka mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita apalagi bagi para penghuni dunia maya terutama twitter dan blog.
Cerita pertama atau lembaran-lembaran awal sebuah buku tentulah sangat menentukan apakah kita akan betah membacanya atau tidak. Saat membaca cerita pertama bahkan paragraf pertama buku ini saya sudah menyatakan bahwa saya telah jatuh cinta dan mungkin akan lebih mencintai buku ini.

Humsafar (Hanny Kusumawati)

“Julia pernah bilang, cinta pada pandangan pertama hanya diperuntukkan bagi mereka yang beruntung., sebaliknya, harus berurusan dengan cinta pada pandangan terakhir. Cinta bukan hadir pada saat mereka saling menyapa, ketika berkata “hai” atau “halo”, tetapi justru pada saat mereka harus berpisah dan saling berucap “selamat tinggal”.”

Paragraf inilah yang membuat saya bertahan, rasa penasaran saya telah tergelitik untuk mengetahui kelanjutan cerita ini. Insan berlawanan jenis yang berasal dari negara yang berbeda, latar belakang dan pekerjaan yang berbeda, bertemu dalam waktu yang singkat namun sanggup menhadirkan ketertarikan dan keterikatan yang tak sesaat. Gaya penulis menceritakaannya membuat saya teringat pada penulis Korea Selatan, Kyung Sook Shin (Please Look After Mom). Dia bercerita dari sudut pandang pria yang sejak lama telah mengenal sosok Julia, lama sebelum Shah hadir dalam hidupnya, pria yang selalu menemaninya.

Selesai dengan cerita pertama, saya berpikir untuk berhenti membaca. Ingin rasanya menunggu hujan turun agar lebih meresapinya. Kesemua cerita dalam buku ini memang melibatkan hujan, ya namanya juga ’11 cerita pendek di hari hujan’. Bertahan selama 2 hari, saya nyatanya tergoda untuk melanjutkannya. Saya takkan menunggu hujan tapi akan membacanya lagi saat hujan turun untuk merasakan perbedaannya.
Kala membaca cerita-cerita berikutnya saya berusaha untuk menangkap beberapa hal yang ingin disampaikan penulis. Hal ini tidaklah mudah, malah muncul keraguan akan kebenaran interpertasi saya tentang cerita tersebut. Saya hanya akan memilih beberapa cerita dan pendapat saya tentangnya.

Daun Palma (Wisnu Nugroho)

Membaca cerita ini dan membayangkannya seakan seperti sinetron dimana tokoh utamanya menurut bahasa anak gaul zaman sekarang “lagi galau”. Mengesampingkan semua hal itu, penulis menggambarkan dengan indah perasaan pria yang tak bisa lagi bersama dengan kekasihnya. Awalnya sedih tapi dia kemudian bisa bangkit meski butuh waktu yang cukup lama. Perasaan memang tak cukup hanya dengan kata “galau”, akan lebih menarik jika dilukiskan dengan rangkaian kata penuh makna.

Lelaki Naga (Ndoro Kakung)

Proses pendewasaan diri akan berjalan seiring waktu berlalu. Tapi, itu tergantung seberapa dalam kita belajar dari sebuah pengalaman diri atau pun orang lain.

“Dalam kesedihan dan kearifannya, waktu adalah teman yang baik.”

Kematangan penulis sangat terlihat dan terasa dalam cerita ini. Bagi saya, masih banyak hal luar biasa yang tidak bisa didapatkan karena kurangnya pengalaman yang saya miliki.

Enam Jam (Hanny Kusumawati)

Mengapa judulnya Enam Jam? Karena tokoh dari cerita ini hanya punya waktu enam jam bersama wanita yang sebenarnya dia cintai sebelum harus menikah.

Nai adalah teman Bian sejak SD, sampai saat dia dan keluarganya kecelakaan pun yang diingat hanyalah nomor telepon rumah Nai, bukan nomor telepon pacarnya, Layla. Nai sudah berhenti mencintai Bian, lebih tepatnya menerima bahwa lelaki itu lebih memilih wanita lain. Meski akhirnya karena keadaan Bian harus menikah dengan Layla, dia sebenarnya mencintai Nai.

“Setiap pilihan punya konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kita, kita bukan anak-anak lagi.”

Keputusan yang kita ambil harus dihadapi apapun akibatnya. Banyak kesempatan telah diberikan hidup hingga rasanya tak bijak untuk terus menyesal, kita harus terus berjalan. Cerita ini membuat saya ingin mengutip perkataan McDreamy pada adik iparnya, Lexy Grey, dalam drama seri Grey’s Anatomy.

“Make sure you want him because you want him.”

Perempuan yang Melukis Wajah (Karmin Winarta)

Tak perlu berpanjang-lebar untuk melukiskan cerita ini. Cinta memang gila. Dan, kita bisa benar-benar gila karena cinta.

Hujan. Deras Sekali (M. Aan Mansyur)

Ini ada cerita terakhir dalam buku ini, saya bisa benar-benar merasakan nuansa klimaks keseluruhan buku setelah membacanya. Bagaimana saya harus menjabarkannya? Sederhana, menarik, lucu. Saya benci perselingkuhan tapi cerita ini tidak disajikan dalam gaya yang membuat kita jengkel dan mengutuk Perselingkuhan terjadi dalam masyarat dan banyak faktor yang mendasarinya. Anda selingkuh? Pasangan Anda selingkuh? Atau, sama-sama selingkuh? Itulah yang muncul dalam pikiran saya. Jadi jika diharuskan, mana yang akan Anda pilih?

Buku ini adalah karya yang mengundang kekaguman, cantik laksana pelangi dikala hujan telah membasahi bumi. Suatu kepuasaan bisa menikmatinya.