Selasa, 28 Oktober 2014

Review The Silkworm




Beberapa bulan lalu rasa penasaran saya digelitik 2 bab The Silkworm versi Inggris. Apa yang didapatkan setelah hanya membaca secuil bagian dari 500-an halaman sebuah novel selain penantian dengan penuh ketidaksabaran. Namun, saat tulisan ini muncul berarti rasa penasaran saya telah terpuaskan. Robert Galbraith alias J.K. Rowling kembali lagi dengan aksi Cormoran Strike bersama asistennya yang menarik, Robin Ellacott. Apakah Robin putus dengan pacarnya dan berpaling pada Cormoran? Jadi, kasus apa yang mereka hadapi kali ini?

Setelah kasus Lula Landry terpecahkan, bisnis detektif partikiler Cormoran Strike berubah 180 derajat. Publitas kasus itu ikut berimbas menjadikannya detektif paling tersohor di metropolis. Kasus-kasus berdatangan namun dia lebih memilih klien yang berpotensi mendatangkan keuntungan besar meski kasusnya hanya masalah ringan seperti klien yang ingin pasangannya diselidiki karena diduga berselingkuh, klien yang butuh bukti pendukung dalam perceraiannya, dan kasus lain yang hanya butuh waktu banyak bukan keahlian lebih. Dia sudah bisa menyicil utang-utangnya, menyewa flat di atas kantornya, dan tentunya bisa membayar gaji Robin meski masih di bawah gaji pekerjaan-pekerjaan yang telah ditolaknya demi kesetiaannya pada Cormoran.

Kali ini, berbeda dari biasanya, Cormoran menerima klien yang tak terlihat akan menambah pundi-pundi keuangannya. Seorang wanita (Leonora Quine) yang ingin Cormoran menemukan suaminya (Oliver Quine) dan membawanya pulang. Pekerjaan yang cukup mudah? Suaminya adalah seorang penulis, pergi dari rumah membawa naskah novel yang telah ditulisnya. Awalnya sang istri menduga suaminya hanya ke retret yang pernah dia dengar disarankan oleh seorang penerbit (Christian Fisher) jadi Cormoran hanya perlu menanyakannya dan menjemput suaminya. Namun suaminya tidak pernah ke tempat yang dimaksud justru beberapa hari kemudian Cormoran temukan meninggal di rumah milik Oliver bersama dengan mantan temannya yang juga penulis (Michael Fancourt). Oliver di mutilasi dengan kejam dan usus menghilang, tak ada bukti apapun, seperti sidik jari, yang merujuk pada pelaku.

Kasus ini akhirnya melibatkan kepolisian dan ditangani oleh teman Cormoran yang ia selamatkan saat peristiwa bom yang menimpanya di Afganistan. Kepolisian memiliki bukti yang mengarah pada Leonora sebagai pelakunya. Tentu saja Cormoran tidak percaya begitu saja bukan hanya karena bukti yang dimiliki kepolisian masih membuatnya ragu tapi karena rasa kasihannya pada putri Leonora yang memiliki keterbelakangan. Dalam penyelidikannya Cormoran kemudian tahu bahwa novel yang ditulis Oliver mengumbar keburukan orang-orang di sekelilingnya. Bombyx Mori yang merupakan bahasa Latin dari ulat sutera adalah judul dari novel yang tentu saja mungkin akan berpeluang mengundang keinginan dari siapa saja dianalogikan dengan tokoh di dalamnya  untuk membunuh si penulis. Istri Oliver, agennya (Elizabeth Tassel), editornya (Jerry Waldegrave), CEO publisher-nya (Daniel Chard), selingkuhan (Kathryn) dan temannya (Pippa), serta penulis lainnya (Michael Fancourt). Siapa di antara mereka pembunuh sebenarnya? Apakah kali ini Cormoran Strike akan mengalahkan kepolisian lagi? Sedikit bocoran yang hampir terlupakan, adik Cormoran ikut serta membantu penyelidikan dan terpecahkannya kasus ini.

Pada buku pertama tebakan saya justru salah tapi kali ini tidak. Bukan berarti kasus kali ini mudah dan lebih biasa dari sebelumnya, justru rasanya seperti digiring kemana-mana. Meski telah menetapkan siapa yang dijadikan tersangka motifnya tetap tidak bisa tertebak dan bagaimana dia melakukannya. Saat Cormoran ‘menggali’ tiap tersangka justru kecurigaan pada setiap orang semakin muncul, penyelesaiannya benar-benar di akhir, hampir tanpa celah. Robert Galbraith sangat runut dan mendetail membuat sisi Cormoran yang tradisional dalam menyelesaikan kasus sangat terasa menonjol.

The Silkworm di sisi lain membuat saya merasa dua kali memasuki dunia buku karena juga harus mengerti apa yang ada dalam Bombyx Mori. Buku ini juga menunjukkan bagian dari dunia menulis dan penerbitan, bukan hanya membeli buku di toko. Sangat menikmati membaca buku ini walau terjemahan tapi memuaskan  jadi tidak perlu khawatir membeli karena takut melenceng dari versi aslinya. The Silkworm merupakan salah satu buku terbaik tahun ini dan mungkin banyak yang tidak sabar menunggu buku berikutnya. Bagi yang penasaran dengan aksi Cormoran dan Robin silahkan membacanya sendiri dan bagi yang masih penasaran juga dengan hubungan mereka mari kita berimajinasi setidaknya setahun lagi. :p

Senin, 27 Oktober 2014

Review Bodycology Cucumber Melon Shower Gel and Bubble Bath

Hi.....!!! 

Lama banget gw g' ngeblog, ini saja nulis buat mancing-mancing biar nulis review buku yang g' jadi-jadi dari 2 minggu lalu. :( Sekalian mau curcol juga secara lagi stres liat muka sendiri. Klo dipikir dan dilihat-lihat sih gw kurang bersyukur banget, hancurnya muka gw belum ada apa-apanya dibanding orang-orang jerawatan parah di luar sana. Tapi, namanya cewek ya gimana dong... Selain komedo, warna kulit g' rata, fleck hitam, kulit kering, garis-garis halus juga mulai muncul. Ini sih banyak ya... Gw semakin terlihat kusam dan tua pdhal masih 20-an. :(

Sekarang gw sudah sadar, dari dulu sih tapi cuek bebek, jadi mau berburu alat perang yang cocok. Ngincar brand Innisfree tapi harus bertahap karena mehong dan gw masih pengen beli 3 buku tahun ini, belum lagi mata gw yang masih gatal liat tas di Zorra shop. Hahaha... Hitung-hitungan gw emang masih kencang walaupun dulu pernah kebablasan beli shampo sama conditioner Kiehl's (kapan-kapan gw review soalnya ok banget). Kali ini biar g' kosong tak bermutu ni postingan gw sekalian review body wash kesayangan, Bodycology Cucumber Melon Shower Gel and Bubble Bath.

Nama Bodycology Cucumber Melon Shower Gel and Bubble Bath ini sih dipakai di kemasan botol lama, yang baru pakai Bodycology Fresh Cucumber Melon Foaming Body Wash. Gw lebih suka kemasan lama yang gemuk, lebih pendek dan tutupnya lebih aman. Jelasnya liat di gambar saja ya... :) *dasar wanita pemalas*






Isinya sih sama saja 473 mL (16 FL OZ), g' kental tapi g' encer banget juga, wanginya segar, yang paling gw suka busanya g' cepat mati (ngertilah maksud gw) wajar sih karena buat bubble bath juga kali. Setelah dibilas kulit terasa lembab dan halus tapi jangan lupa setelah mandi tetap pakai body lotion. Gw pake body butter karena body lotion rasanya kurang nampol di kulit gw (entah kulitku dari apa). Harga hampir seratus ribu tapi pas kemarin mau beli botol ke 3 (gw pakai produk ini sudah hampir 2 tahun, sempat berhenti beberapa bulan) lg diskon tinggal 1 pula di Guardian, klo di Hero lagi habis yang wangi ini. Sempat mikir ini barangnya jangan-jangan sudah g' bagus tapi karena gw tahu itu kemasan yang lebih baru dari yang gw punya sebelumnya ya beli saja. Lagi pula pakai body wash yang biasa kulitku kadang bermasalah. Kandungannya, lagi-lagi gw malas menulis ulang jadi liat di foto saja (maaf). Gw coba cari sih kekurangan produk ini tapi g' nemu-nemu (gw konsumen yg kurang pintar sih). -.-v