Jumat, 12 Oktober 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


“Ada tujuh milyar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, setidaknya akan ada satu milyar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan bumi mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaannya.”
Hanya sepenggal tulisan ini dan komentar-komentar dari orang-orang yang tak satu pun namanya kukenal ada di bagian belakang sampul. Tak memberi gambaran mengenai kisah yang ada di dalamnya selain bahwa kisah ini adalah sebuah kisah cinta sepasang anak manusia. Sebagai orang yang baru pertama kali akan membaca karya Tere Liye, hal ini sangat tidak membantu untuk mempertimbangkan apa saya akan membelinya atau tidak.
Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, itulah judul buku ini yang tertulis indah di sampul depannya yang berwarna jingga. Terus terang warna sampulnya pun saya tak yakin. Yang pasti, di sampul ini tergambar seorang wanita memakai payung berdiri menyamping seakan memandang sungai. Mungkin dia berdiri di dermaga karena di sekitarnya tertambat beberapa perahu (yang kemudian kuketahui namanya sepit). Judul dan sampul buku ini justru semakin menumbuhkan rasa penasaranku. Apa hubungan ‘Kau’ dan ‘Aku’ dg ‘Sepucuk Angpau Merah’? Kenapa sampulnya seperti itu? Apa sedikit-banyak mewakili cerita yang tergambar di dalamnya? Dari pada semakin sibuk dengan berjuta pertanyaan, akhirnya saya membeli buku ini. Jika tidak suka atau puas membacanya toh nanti bisa saya jual jadi tak ada ruginya mencoba karya satu ini.
Bila memiliki buku baru, sebelum membacanya saya sangat suka melihat jumlah halamannya dan sering tergoda membaca random. Tapi, kali ini kebiasaan aneh yang agak jelek itu saya urungkan mengingat buku ini 507 halaman, terdiri dari 37 bab beserta prolog dan epilognya, bakal sangat membingungkan jika dibaca random karena kemungkinan besar akan ada cerita yang terlewatkan. Apakah saat telah membaca beberapa bab akhirnya saya menyerah dan memilih membaca random? Tidak… Saya tetap membacanya dengan runut dan menikmati alur ceritanya.
Cerita bermula saat Borno si tokoh utama berusia 6 tahun, masih polos dengan pertanyaan dan pemikiran tipikal anak seumurannya. Ia ingin tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan kotoran manusia dari hulu sungai Kapuas untuk hanyut sampai ke muara, melintasi rumah papan keluarganya. Kisah ini memang dibuat berlatarkan kehidupan masyarakat Pontianak yang hidup dipinggiran Kapuas. Namun, pada bagian prolog ini baru karakter beberapa tokohnya saja yang bisa kita pahami,selain Borno kecil, seperti Koh Acong, Cik Tulani, Pak Tua, bapak dan ibu Borno. Di bagian ini pula kejadian yang  mempengaruhi proses pendewasaan, kehidupan cinta, dan masa depan Borno terjadi. Saat usianya 12 tahun, bapaknya meninggal karena sengatan ubur-ubur dan memutuskan untuk mendonorkan jantungnya sebelum dia meninggal.
Buku ini tidak hanya bercerita tentang kisah cinta  tapi juga menambah pengetahuan. Pada bab-bab awal justru bercerita tentang sejarah asal-muasal nama kota Pontianak, kehidupan masyarakat di tepi sungai Kapuas, pekerjaan mereka terutama para pengemudi sepit (ternyata berasal dari kata speed), makna sepit Borno pada  bab ini sudah besar, sekitar 10 tahun setelah bapaknya meninggal, telah bermunculan beberapa tokoh baru baru seperti Andi sahabatnya, bapak Andi yg keturunan Bugis, Bang Togar ketua pengemudi sepit, serta beberapa pengemudi sepit lainnya. Borno yang telah tamat SMA sebenarnya ingin kuliah tapi hidup berkata lain ia harus mencari kerja, di PHK, bekerja kesana-kemari dengan dengan berbagai rintangan. Meski awalnya dia tak ingin karena wasiat bapaknya namun toh akhirnya dia jadi pengemudi sepit. Ia menganggap bahwa bapaknya tidak ingin dia jadi nelayan ataupun pengemudi sepit namun Pak tua dengan bijak menjelaskan bahwa makna pernyataan bapaknya itu adalah ingin dia menjadi lebih baik, bukan melarangnya sama sekali. Orang tua selalu ingin anaknya lebih hebat dari dirinya tapi bukan berarti ia melarang anaknya sama dengannya bila itu baik.
Hari pertama Borno resmi menjadi pengemudi sepit merupakan awal dia bertemu dengan tokoh wanita di buku ini. Wanita keturunan Cina yang cantik tapi bermuka sendu. Wanita ini tetap duduk di atas sepit di saat semua orang turun karena tahu bahwa Borno akan mengemudi tanpa didampingi Pak Tua. Wanita yang akhirnya dicari-cari Borno karena amplop warna merahnya jatuh di bawah tempat duduk di sepitnya.  Butuh beberapa waktu dan adegan yang mirip adegan James Bond saat berkejar-kejaran dengan perahu boat hingga mereka bertemu kembali. Barno mengira amplop itu tak ada istimewanya, hanya angpau seperti yang dibagikan wanita pada pengemudi sepit dan anak-anak SD jadi dia hanya menyimpannya.
Beberapa kali wanita itu menumpang sepit Borno saat ingin menyebrangi sungai Kapuas bahkan sekali pernah diajari mengemudikan sepit tapi dia belum juga tahu namanya. Ya… terkadang cinta itu rumit, bahkan yang mudah pun diperumit. Saat dia “memancing” untuk tahu nama wanita itu justru malah mendatangkan perasaan tak enak dalam dirinya setelah melihat reaksi wanita itu. Nama wanita itu ternyata Mei. Satu hal yang menarik saya perhatikan dalam cerita ini, angka 13 selalu muncul, mulai dari sepit antrian 13 sampai bulan malam 13. Apakah penulis ingin mengatakan bahwa semua angka itu sama saja termasuk angka 13 yang sering dikonotasikan sebagai angka sial? Entahlah, yang pasti sepit antrian 13 bermakna banyak dalam hidup Borno bahkan juga Mei.
Lewat surat, Mei berjanji bertemu dan meminta diajari mengemudi sepit pada Borno keesokan harinya namun karena sesuatu hal justru Borno datang terlambat. Karena takut Mei marah maka dia sibuk mencari tahu alamatnya. Saat bertemu justru Mei akan berangkat ke Surabaya dan tak tahu kapan kembali. Mei kecil dulunya tinggal di Pontianak tapi tiba-tiba saat umur 12 tahun seluruh keluarganya pindah ke Surabaya. Walaupun masih memiliki rumah di Pontianak ia datang hanya tugas sebagai guru magang dari kampusnya. Bila pernah mengalami jatuh cinta bahkan perasaan apa pun itu kita pasti bisa memahami apa yang dirasakan oleh mereka berdua.
“… Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejab berikutnya merubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang.” (dialog Pak Tua, halaman 132)
Selama kepergian Mei, Borno melalui harinya dengan penuh semangat biarpun awal-awalnya sulit. Dia merawat Pak Tua yang sebelumnya jatuh sakit, belajar jadi montir di bengkel bapak Andi, tetap semangat menarik sepit seperti pesan Mei, dan tentunya dia tetap memikirkan Mei. Kesempatan untuk bertemu Mei di Surabaya ternyata datang menghampiri Borno, Pak Tua ternyata mengajak untuk menemaninya terapi di sana. Lagi-lagi jalan untuk mereka bertemu diuji dan bukan hanya itu saja, saat 2 hari terakhir Borno di Surabaya, dia bertemu  ayah Mei yang terang-terangan tidak suka padanya. Ia menganggap bahwa Borno akan membawa pengaruh buruk pada anaknya. Awalnya saya mengira masalah yang menghalangi mereka berdua adalah ekonomi tapi ternyata masa lalu (sejarah). Hal ini baru terbongkar di bab terakhir dan saya tak pernah menyangka ceritanya seperti itu. Walau sejak awal saya menduga memang ada hubungannnya saat keluarga Mei masih di Pontianak tapi hanya sampai di situ,  selebihnya penulis menjaga kerahasiaannya hingga saat-saat terakhir.
Borno kembali ke Pontianak dan menjalani hidup seperti biasa meski masih memikirkan Mei. Ia justru mulai menanamkan pada dirinya bahwa mereka tak sebanding. Sampai suatu ketika Mei datang kembali, dan seperti biasa hubungan mereka mengalami pasang surut. Wanita yang ternyata pernah bertemu Borno saat umurnya 12 tahun juga muncul pada masa-masa ini. Borno menjual sepit dan kemudian membuka bengkel yang seharusnya besar tapi karena tertipu yang ada bengkelnya jadi seadanya. Keadaan jadi lebih membingungkan bagi Borno saat Mei tanpa alasan yang jelas meninggalkan, tak ingin bertemu, dan memperdulikannya. Kunci dari semua kisah ini baru terjawab di akhir oleh sepucuk angpau merah.
Ide cerita ini sangat menarik, riset latar cerita yang luar biasa. Penggambaran dan penuturan ceritanya yang runut, sangat rapi. Walau banyak bercerita tentang pasang surut hubungan Borno dan Mei tapi tetap tidak monoton dan membosankan. Penokohannya pun sangat kuat, Pak Tua yang bijaksana mungkin akan menjadi favoritku. Sampai di akhir cerita mungkin kita akan bertanya masih adakah manusia yang lurus, mencintai dengan  tulus dan “malu-malu”? Kita harus tetap meyakininya dan mempercayainya bahwa di belahan bumi ini masih ada manusia-manusia seperti itu. Selalu ada harapan…
Saat selesai membaca buku ini, apakah saya ingin menjualnya? Nampaknya tidak. Bukan hanya kisah cinta biasa yang membuat kita membayangkan saat kita jatuh cinta tapi banyak pelajaran hidup berharga yang bisa didapat dari buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar