Minggu, 07 April 2013

Review Berjalan di Atas Cahaya



Hampir sebulan yang lalu akun twitter Gramedia mengunggah foto sampul buku terbaru Hanum Salsabiela Rais dan mengumumkan bahwa akan terbit beberapa hari lagi. Kebiasaan saya saat mengincar buku adalah menyimpan foto sampulnya di handphone begitu pula dengan buku ini. Sudah bisa dipastikan saya tidak akan berpikir dua kali untuk membeli seperti kejadian dengan buku sebelumnya yang terus-menerus tertunda. Oke!... Buku “99 Cahaya di Langit Eropa” sebenarnya tidak saya dapatkan dengan merogoh isi dompet sendiri melainkan hadiah sebagai pemenang #ResensiPilihan dari akun @Gramedia tahun lalu. Saya harus berterimakasih karena mendapatkan banyak hal dari buku ini. Dari buku ini pula saya mulai jatuh cinta dengan karya mba’ Hanum dan berniat untuk mengoleksinya.
“Berjalan di Atas Cahaya” dari sampulnya kita sudah bisa tahu bahwa kisah dalam buku ini masih akan berlatar Eropa. Tidak jauh berbeda dengan buku terdahulu, sampul buku ini juga masih terdapat gambar beberapa bangunan terkenal dari negara-negara di benua biru meski tidak sejelas buku sebelumnya. Yang menjadi pembeda kali ini ada gambar wanita berjilbab berjalan di atas warna kuning-orange yang saya anologikan sebagai cahaya seperti saat menggambar matahari lazimnya kita menggunakan dua warna ini. Kenapa wanita berjilbab? Mungkin karena penulisnya adalah wanita muslim yang melakukan perjalanan ke Eropa dan penggunaan jilbab/hijab merupakan isu yang “seksi” di sana.
Membaca cerita pertama dalam buku ini, bahkan dari prolog, kita sudah bisa memperkirakan bahwa cerita-cerita yang disajikan kali ini tidak akan berfokus pada peninggalan Islam di Eropa dan cerita penulis terutama ketika mengunjungi tempat-tempat yang menunjukkan bahwa Islam pernah ada di sana. Buku ini lebih personal, lebih melibatkan banyak tokoh, banyak cerita yang membuat kita tahu perjuangan umat muslim, terutama wanita apalagi yang berhijab, sebagai minoritas di tengah masyarakat Eropa dan bagaimana sebaliknya mereka dipandang. Cerita-cerita yang membuat saya ingin semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Tidak terlalu mengherankan mengapa cerita dalam buku ini lebih beragam karena sebenarnya mba’ Hanum kali ini tidak bercerita sendiri. Ada dua orang lainnya yang ikut menuturkan kisah mereka. Tutie Amaliah, seorang ibu dua putri yang ikut suaminya bekerja di Austria dan dia juga menyelesaikan gelar MBA-nya di sana. Wardatul Ula, mahasiswa yang sedang kuliah S1 di Turki.
Buku yang terdiri atas 19 cerita ini dimulai dengan kisah mba’ Hanum yang tahun lalu melakukan liputan Ramadhan bersama salah satu tv swasta ke Eropa. Ada dua masalah besar yang dihadapi waktu itu, anggaran yang hanya USD3.000 untuk biaya liputan dan akomodasi 3 orang selama 18 hari dan bagaimana liputan mereka sesuai target dan tujuan program. Melihat anggarannya saja untuk ukuran Eropa tidak akan cukup tapi toh akhirnya jadi juga. Di bagian ini penulis menceritakan bagaimana hal itu bisa terjadi dan melalui foto-foto yang disertakan kita seakan berkenalan dengan orang-orang yang membantu dan terlibat dalam suksesnya liputan tersebut.
Beberapa cerita berikutnya merupakan hasil liputan saat mereka bertemu para talent. Dengan gaya bercerita mba’ Hanum, saya bisa merasakan ikut serta dalam perjalanan yang dilakukannya. Semua cerita dan talent yang ditemui bagi saya sangat menarik serta memberikan hal-hal yang berbeda. Salah satu talent-nya adalah wanita berhijab dari Indonesia yang bersuamikan warga Swiss. Mereka tinggal di Ipsach, Biel, Swiss dan dia bekerja di salah perusahaan jam tangan terkenal dunia.
Selain menyajikan cerita semasa liputannya, dalam buku ini ada juga beberapa cerita semasa mba’ Hanum masih tinggal di Austria dan tentu saja beberapa cerita dari 2 penulis kontributor. Tidak kalah menarik, saya tidak tahu bagaimana mengistilahkannya tapi secara pribadi saat membaca buku terdahulu apa yang saya rasakan tersentil melalui sejarah dan bagunan-bagunan yang dikunjungi. Kini, saya merasa lebih pada hubungan manusia dengan manusia. Ya, tentu keduanya melibatkan Tuhan di dalamnya. Membaca buku ini mau tak mau juga membuat saya membanding-bandingkan Indonesia dengan negara-negara yang menjadi latar kisah ini. Ada hal yang patut disyukuri dan ada hal yang membuat miris.
Tak ada sesuatu yang luput dari kekurangan begitu pula dengan buku ini. Sebenarnya mungkin tingkat kepuasan saya saja yang tak terbatas hingga menganggap ceritanya kurang banyak dan foto-foto yang disertakan, meski saya penggemar B&W style, alangkah lebih bagus bila berwarna. Terlepas dari semua hal yang saya anggap kurang yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil manfaat dari buku ini.

“Dan Allah menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan, dan Dia mengampuni kamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hadid: 28)
“Inilah ayat Al-Qur’an yang menuntut kita mencari ilmu dengan panca indra yang kita miliki. Sebuah tuntutan melakukan perjalanan ilmu dari siapa pun yang kita temui dan apa pun yang kita jumpai. Karena setiap apa yang kita lihat, dengar, dan rasa, adalah dari-Nya.” (halaman ix)

“Aku ingin menjadi orang yang pertama kali mengatakan tak ada gajah terbang di langit. Aku akan katakana, hanya orang-orang tak berpendirian, tak mau berpikir, dan takut menyatakan kebenaranlah yang melihat gajah terbang.” (halaman 74)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar