Hampir
sebulan yang lalu akun twitter Gramedia mengunggah foto sampul buku terbaru
Hanum Salsabiela Rais dan mengumumkan bahwa akan terbit beberapa hari lagi.
Kebiasaan saya saat mengincar buku adalah menyimpan foto sampulnya di handphone
begitu pula dengan buku ini. Sudah bisa dipastikan saya tidak akan berpikir dua
kali untuk membeli seperti kejadian dengan buku sebelumnya yang terus-menerus
tertunda. Oke!... Buku “99 Cahaya di Langit Eropa” sebenarnya tidak saya dapatkan
dengan merogoh isi dompet sendiri melainkan hadiah sebagai pemenang #ResensiPilihan
dari akun @Gramedia tahun lalu. Saya harus berterimakasih karena mendapatkan
banyak hal dari buku ini. Dari buku ini pula saya mulai jatuh cinta dengan
karya mba’ Hanum dan berniat untuk mengoleksinya.
“Berjalan
di Atas Cahaya” dari sampulnya kita sudah bisa tahu bahwa kisah dalam buku ini
masih akan berlatar Eropa. Tidak jauh berbeda dengan buku terdahulu, sampul
buku ini juga masih terdapat gambar beberapa bangunan terkenal dari
negara-negara di benua biru meski tidak sejelas buku sebelumnya. Yang menjadi
pembeda kali ini ada gambar wanita berjilbab berjalan di atas warna kuning-orange
yang saya anologikan sebagai cahaya seperti saat menggambar matahari lazimnya kita
menggunakan dua warna ini. Kenapa wanita berjilbab? Mungkin karena penulisnya
adalah wanita muslim yang melakukan perjalanan ke Eropa dan penggunaan
jilbab/hijab merupakan isu yang “seksi” di sana.
Membaca
cerita pertama dalam buku ini, bahkan dari prolog, kita sudah bisa
memperkirakan bahwa cerita-cerita yang disajikan kali ini tidak akan berfokus
pada peninggalan Islam di Eropa dan cerita penulis terutama ketika mengunjungi
tempat-tempat yang menunjukkan bahwa Islam pernah ada di sana. Buku ini lebih
personal, lebih melibatkan banyak tokoh, banyak cerita yang membuat kita tahu
perjuangan umat muslim, terutama wanita apalagi yang berhijab, sebagai
minoritas di tengah masyarakat Eropa dan bagaimana sebaliknya mereka dipandang.
Cerita-cerita yang membuat saya ingin semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Tidak
terlalu mengherankan mengapa cerita dalam buku ini lebih beragam karena
sebenarnya mba’ Hanum kali ini tidak bercerita sendiri. Ada dua orang lainnya
yang ikut menuturkan kisah mereka. Tutie Amaliah, seorang ibu dua putri yang
ikut suaminya bekerja di Austria dan dia juga menyelesaikan gelar MBA-nya di
sana. Wardatul Ula, mahasiswa yang sedang kuliah S1 di Turki.
Buku
yang terdiri atas 19 cerita ini dimulai dengan kisah mba’ Hanum yang tahun lalu
melakukan liputan Ramadhan bersama salah satu tv swasta ke Eropa. Ada dua
masalah besar yang dihadapi waktu itu, anggaran yang hanya USD3.000 untuk biaya
liputan dan akomodasi 3 orang selama 18 hari dan bagaimana liputan mereka
sesuai target dan tujuan program. Melihat anggarannya saja untuk ukuran Eropa tidak
akan cukup tapi toh akhirnya jadi juga. Di bagian ini penulis menceritakan
bagaimana hal itu bisa terjadi dan melalui foto-foto yang disertakan kita
seakan berkenalan dengan orang-orang yang membantu dan terlibat dalam suksesnya
liputan tersebut.
Beberapa
cerita berikutnya merupakan hasil liputan saat mereka bertemu para talent. Dengan gaya bercerita mba’
Hanum, saya bisa merasakan ikut serta dalam perjalanan yang dilakukannya. Semua
cerita dan talent yang ditemui bagi
saya sangat menarik serta memberikan hal-hal yang berbeda. Salah satu talent-nya adalah wanita berhijab dari Indonesia
yang bersuamikan warga Swiss. Mereka tinggal di Ipsach, Biel, Swiss dan dia
bekerja di salah perusahaan jam tangan terkenal dunia.
Selain
menyajikan cerita semasa liputannya, dalam buku ini ada juga beberapa cerita
semasa mba’ Hanum masih tinggal di Austria dan tentu saja beberapa cerita dari
2 penulis kontributor. Tidak kalah menarik, saya tidak tahu bagaimana
mengistilahkannya tapi secara pribadi saat membaca buku terdahulu apa yang saya
rasakan tersentil melalui sejarah dan bagunan-bagunan yang dikunjungi. Kini,
saya merasa lebih pada hubungan manusia dengan manusia. Ya, tentu keduanya
melibatkan Tuhan di dalamnya. Membaca buku ini mau tak mau juga membuat saya
membanding-bandingkan Indonesia dengan negara-negara yang menjadi latar kisah
ini. Ada hal yang patut disyukuri dan ada hal yang membuat miris.
Tak
ada sesuatu yang luput dari kekurangan begitu pula dengan buku ini. Sebenarnya mungkin
tingkat kepuasan saya saja yang tak terbatas hingga menganggap ceritanya kurang
banyak dan foto-foto yang disertakan, meski saya penggemar B&W style, alangkah lebih bagus bila berwarna. Terlepas dari
semua hal yang saya anggap kurang yang terpenting adalah bagaimana kita
mengambil manfaat dari buku ini.
“Dan
Allah menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan, dan
Dia mengampuni kamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hadid: 28)
“Inilah ayat Al-Qur’an yang menuntut
kita mencari ilmu dengan panca indra yang kita miliki. Sebuah tuntutan
melakukan perjalanan ilmu dari siapa pun yang kita temui dan apa pun yang kita
jumpai. Karena setiap apa yang kita lihat, dengar, dan rasa, adalah dari-Nya.” (halaman
ix)
“Aku ingin menjadi orang yang pertama
kali mengatakan tak ada gajah terbang di langit. Aku akan katakana, hanya
orang-orang tak berpendirian, tak mau berpikir, dan takut menyatakan
kebenaranlah yang melihat gajah terbang.” (halaman 74)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar