Senin, 07 Oktober 2013

Review Inferno


Sedari awal  sudah jadi penggemar Dan Brown tapi dari semua bukunya baru kali ini saya berniat mereview. Bukan karena yang sebelumnya tak puas tapi murni karena memang lagi tidak ingin. Maaf jika review ini tidak memuaskan karena terus terang saya tidak pernah mereview buku setebal dan serumit ini.
Inferno, butuh 5 hari saya membaca buku ini. Tidak seperti biasa, ini memang terlalu lama karena ada hal lain yang harus saya bereskan. Saat buku ini rilis bulan Mei lalu terus terang saya tidak membaca satu review pun dari orang-orang yang sudah membaca dan para kritikus buku. Peduli amat bagus atau jelek tetap akan saya beli juga. Tapi, semalam akhirnya saya membaca beberapa review. Ternyata banyak kritik tajam tentang buku ini dan tentunya berujung pada sang penulis. Sedikit melenceng, membaca review ini saya tersadar bahwa ada beberapa pembaca yang suka menuntut lebih tanpa menyadari kerja keras dan susahnya penulis. Ada juga yang mengkritik tapi justru terlihat seperti orang iri, mungkin mereka harus mencoba menulis dan menghasilkan karya terkenal dengan penjualan tinggi.
Ok, mungkin saya salah satu pembaca yang suka dengan buku ini. Saya suka sejarah dan bertahun-tahun belajar hubungan internasional, organisasi internasional, terorisme, dst. Meski demikian, saya juga harus melihat secara keseluruhan dari buku ini. Dan Brown secara garis besar mengambil ide dari Inferno-nya Dante Alighieri dan overpopulasi. Sebenarnya saya mengerti keterkaitan ide ini tapi saat membangun cerita ada hal-hal yang kurang greget. Sederhananya, Dan Brown terlalu lama membicarakan tempat-tempat yang dikunjungi Robert Langdon serta benda-benda yang ada di situ. Akibatnya, unsur ketegangan yang diperoleh pembaca terpotong-potong. Karena hal ini pula saya sempat behenti membaca untuk lebih dahulu mencari gambar-gambar tempat dan benda yang diceritakan untuk mendukung membayangkan perjalanan dalam buku ini. Bagusnya saya jadi tahu karena selama ini tidak terlalu familiar dengan tempat-tempat yang disebutkan terutama Florence.
Mungkin dari segi meramu dan kerumitan kode bagi saya tetaplah The Da Vinci Code yang terbaik dari karya-karya Dan Brown. Sangat sulit untuk mengalahkan buku pertamanya tapi satu hal yang tak hilang adalah keahliannya menjaga agar pembaca tetap penasaran dan ceritanya tidak terbaca. Beberapa kali menduga-duga dan meski telah yakin tetap saja saya terkelabui. Ada kalimat dalam buku ini yang lebih-kurang, menurut yang saya pahami, bahwa apa yang kita lihat belum tentu itu yang dimaksud. Ya… ada bagian dari buku ini yang beberapa halaman barulah saya sadari dan itu membuat ingin mengumpat sekaligus mengakui kelihaian penulis.
Membaca buku ini mulai dari ucapan terima kasih penulis, jelas bahwa riset dan kerja keras untuk menghasilkan buku ini luar biasa. Validitas data dan sumber yang dijadikan referensi pun tidak diragukan. Mungkin ada yang meragukan keberadaan organisasi swasta “Konsorsium” dalam buku ini tapi saya bisa katakan itu memang ada. Setelah membaca hingga akhir saya membayangkan jika difilmkan akan luar biasa (dengan penulis skenario yang bagus tentunya). Untuk melihat hal ini menjadi kenyataan masih lama karena baru 2015 Inferno dijadwalkan akan rilis dengan sutradara Ron Howard (salah satu sutradara favorit saya apalagi setelah dia berhasil dengan Rush).
Bagi yang belum baca buku ini dan berniat untuk baca ya nikmati saja dengan teliti. Pendapat orang memang beda-beda, kalian akan punya pendapat sendiri setelah membacanya karena tidak selamanya orang-orang memandang dari arah yang sama. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar